Jakarta, Sergap24.info
Dua nama pejabat dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex).
Diketahui, Kejagung menetapkan Direktur Utama PT Bank DKI Jakarta tahun 2020, Zainuddin Mappa, dan pejabat PT Bank BJB, DS, yang menjabat sebagai Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial tahun 2020, tersangkut kasus ini.
Penetapan ini diumumkan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus), Abdul Qohar, di Kejagung pada Rabu (21/5/2025). Kejagung juga menetapkan ISL, Direktur Utama Sritex periode 2005–2022, sebagai tersangka ketiga dalam perkara yang sama.
Ketiga tersangka diduga terlibat dalam pemberian kredit secara melawan hukum dari PT Bank DKI dan Bank BJB kepada Sritex. Penetapan dilakukan setelah penyidik memeriksa 46 saksi, 9 saksi tambahan, dan seorang ahli, serta mengumpulkan alat bukti yang cukup.
"Kemudian juga beberapa saat yang lalu, penyidik juga telah melakukan pemeriksaan terhadap 1 orang ahli. Setelah melakukan pemeriksaan terhadap para saksi tersebut di atas, penyidik memperoleh alat bukti yang cukup," ungkap Abdul Qohar di Kantor Kejaksaan Agung, Rabu malam (21/5/2025).
"Kemudian setelah dilakukan pemeriksaan terhadap DS, ZM dan terhadap ISL, pada hari ini, Rabu tanggal 21 Mei tahun 2025, penyidik pada jam 7.00 WIB, Kejagung RI menetapkan tiga orang tersebut sebagai tersangka karena ditemukan alat bukti yang cukup telah terjadi tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten serta PT Bank DKI Jakarta kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk," lanjutnya.
Dia menerangkan, terhadap tersangka DS, tersangka ZM, dan tersangka ISL disangka telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 junto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
"Terhadap tiga tersangka, mulai malam ini dilakukan penahanan untuk 20 hari ke depan. Yang bersangkutan ditahan di Rutan Salemba," jelas Abdul Qohar.
Abdul Qohar membeberkan bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit dari beberapa bank pemerintah kepada PT Sritex dengan nilai total outstanding atau tagihan yang belum dilunasi hingga Oktober 2024 sebesar Rp3.588.650.808.028,57 (Rp3,58 triliun), dengan perincian sebagai berikut:
-
Bank Jateng sebesar Rp395.663.215.800
-
Bank BJB, Bank Banten, dan Jawa Barat sebesar Rp543.980.507.170
-
Bank DKI sebesar Rp149.785.018,57
-
Bank Sindikasi (Bank BNI, Bank BRI, dan LPEI) sebesar Rp2,5 triliun
Selain pemberian kredit tersebut, PT Sri Rejeki Isman Tbk juga menerima pembiayaan dari 20 bank swasta.
Adapun posisi kasus dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dalam laporan keuangan PT Sri Rejeki Isman Tbk, disebutkan kerugian mencapai USD 1.008.000.000 atau setara Rp15,65 triliun pada tahun 2021, padahal pada tahun 2020 masih mencatat keuntungan Rp1,24 triliun. Dalam satu tahun terjadi pergeseran drastis dari untung besar menjadi rugi besar, yang menjadi fokus penyidik.
PT Sritex dan entitas anak usahanya memiliki total outstanding kredit hingga Oktober 2024 sebesar Rp3,58 triliun kepada berbagai bank pemerintah, termasuk bank Himbara dan bank daerah. Selain itu, Sritex juga memperoleh pembiayaan dari 20 bank swasta lainnya.
Dalam proses pemberian kredit, ZM selaku Dirut Bank DKI dan DS sebagai pimpinan divisi Bank BJB diduga memberikan kredit secara melawan hukum karena tidak melakukan analisis yang memadai dan tidak mengikuti prosedur serta persyaratan kredit, termasuk tidak memenuhi syarat modal kerja. Hasil pemeringkatan dari Moody’s menunjukkan Sritex hanya mendapatkan peringkat BB-, yang artinya berisiko gagal bayar tinggi.
Seharusnya, kredit tanpa jaminan hanya dapat diberikan kepada debitur dengan peringkat A. Namun proses ini diabaikan oleh para pejabat bank dan bertentangan dengan SOP perbankan serta prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
"Bahwa pada saat ISL selaku Direktur Utama PT Sritex mendapatkan dana dari Bank BJB dan Bank DKI, terdapat fakta hukum bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk modal kerja, melainkan disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif, sehingga tidak sesuai dengan peruntukan.
"Bahwa kredit dari Bank BJB dan Bank DKI saat ini macet (kolektibilitas 5) dan aset perusahaan tidak bisa dieksekusi untuk menutupi kerugian negara karena nilai agunan lebih kecil dari nilai pinjaman, bahkan beberapa aset tidak dijadikan jaminan."
PT Sritex pun dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang melalui Putusan No. 2/Pdt.Sus/Homologasi/2024/PN Niaga Semarang.
"Akibat pemberian kredit secara melawan hukum tersebut oleh Bank BJB dan Bank DKI kepada Sritex, telah mengakibatkan kerugian negara dari total nilai outstanding yang belum dilunasi sebesar Rp3,58 triliun," tandas Abdul Qohar.
sumber: CNBC.Indonesia