Kayong Utara, Sergap24.info
Pembangunan fasilitas pengolahan mineral (smelter) milik PT Dharma Inti Bersama (PT DIB) di Pulau Penebang, Desa Pelapis, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat (Kalbar), memicu keresahan luas di tengah masyarakat.
Sebuah video dan foto yang beredar di media sosial menunjukkan aliran air berwarna cokelat pekat mengalir langsung ke laut. Warga menduga kuat bahwa perusahaan telah membuang limbah tanpa melalui proses pengolahan, yang berpotensi mencemari lingkungan sekitar.
Taslim, warga Desa Pelapis, mendesak perusahaan untuk segera memberikan klarifikasi.
“Kalau itu bukan limbah, tolong jelaskan kepada kami. Tapi kalau memang limbah, berarti laut kami sudah tercemar,” ujarnya kepada media ini.
Dokumen AMDAL Disorot, Partisipasi Warga Dipertanyakan
Kekhawatiran warga kian meningkat karena tidak adanya transparansi terkait dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Rahimin, salah satu warga, mengaku tidak pernah dilibatkan atau diberi akses terhadap isi dokumen tersebut.
“Apakah AMDAL mereka membolehkan pembuangan air bercampur tanah ke laut? Kami tidak tahu. Tidak pernah ada sosialisasi atau diskusi dengan warga,” tegasnya.
Hal serupa disampaikan Junai, tokoh masyarakat setempat, yang menyebut bahwa warga ditolak saat hendak melihat dokumen AMDAL pada bulan Ramadan lalu.
“Kami hanya ingin tahu apa isi AMDAL, tapi malah ditolak. Mengapa dokumen penting seperti itu bisa diloloskan tanpa melibatkan masyarakat?” katanya dengan nada heran.
Bahkan, saat Hari Raya Idulfitri, seorang warga mengaku dilarang masuk ke lokasi proyek dan tidak diperbolehkan mengambil foto, meski hanya datang untuk bersilaturahmi. “Sikap seperti ini justru membuat warga semakin curiga,” ujarnya.
Janji Serap Tenaga Kerja Lokal Diragukan
PT DIB sebelumnya menyatakan akan memprioritaskan tenaga kerja lokal. Namun, pernyataan itu dibantah oleh pengalaman sejumlah warga.
Adi Susanto (27), warga Desa Harapan Mulia, mengaku telah dua kali melamar ke PT Harita, namun selalu ditolak.
“Saya sudah lengkapi semua persyaratan, mulai dari KTP, SIM, Kimper, NPWP, hingga surat pengalaman kerja. Tapi ditolak karena dianggap tidak mampu menjalankan P2H unit dan tidak bisa operasikan alat berat,” ungkapnya.
Hal serupa dialami Dayat (30), yang menilai proses rekrutmen tidak adil. “Katanya anak daerah diprioritaskan, tapi kenyataannya justru orang luar, seperti dari Pontianak, yang lebih mudah diterima. Kami di sini hanya jadi penonton,” keluhnya.
Dayat berharap Bupati Kayong Utara, Romi Wijaya, dapat turun tangan memastikan perusahaan membuka akses kerja secara adil dan tanpa praktik titipan.
Saat dikonfirmasi pada 5 Mei 2025 pukul 16.00 WIB, HRD PT Harita, Arlo, menolak memberikan komentar.
Ancaman Nyata bagi Lingkungan dan Nelayan
Menurut Generasi Peduli Lingkungan (GEPEL) Kalimantan Barat, Irwansyah, dampak pembangunan dan operasional smelter sangat mengkhawatirkan. Irwansyah, perwakilan kelompok tersebut, merinci berbagai risiko:
Pencemaran air akibat limbah logam berat yang mengancam organisme laut dan kesehatan manusia. Pencemaran udara dari emisi gas dan partikel yang menyebabkan gangguan pernapasan.
“Kerusakan tanah karena pembuangan limbah padat yang menurunkan kesuburan dan merusak vegetasi. Erosi dan sedimentasi yang memperburuk kondisi perairan. Kerusakan ekosistem laut, termasuk terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove,” ungkapnya.
Bagi nelayan, kondisi ini berdampak langsung pada hasil tangkapan yang menurun, gangguan kesehatan seperti ISPA dan penyakit kulit, serta ancaman kehilangan akses laut karena zona industri.
Warga Kayong Utara kini mendesak pemerintah daerah dan kementerian terkait untuk melakukan investigasi menyeluruh, membuka informasi publik secara transparan, serta memastikan perlindungan lingkungan dan keadilan.
(Subyharjo)