Jakarta, Sergap24.info
Ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) berpotensi menimbulkan problematik. Ahli hukum Candra Hamzah mengatakan salah satu isi pasal itu bisa menjerat pedagang kaki lima dan penjual pecel lele di trotoar.
Hal tersebut disampaikan pada saat sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001, dilansir situs Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (20/6/2025). Agenda sidang mendengar keterangan DPR serta keterangan Ahli dan Saksi Pemohon Perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024.
Dalam sidang tersebut yaitu menguji Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berisi ketentuan yang menjerat perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara dan menguntungkan pihak tertentu. Adapun pemohon yaitu Syahril Japarin, Kukuh Kertasafari, dan Nur Alam. Pemohon menghadirkan ahli hukum Chandra M Hamzah
Chandra awalnya menjabarkan isi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, yang berbunyi :
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)".
Selain itu ia juga menjabarkan isi Pasal 3 UU Tipikor yang berbunyi:
"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)".
"Menimbulkan problematika, tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau bersifat ambigu maupun tidak boleh ditafsirkan secara analogi sehingga tidak melanggar asas lex certa maupun lex stricta," ujar Chandra.
(W. Alif)